(catatan Menuju
Pilkada Bursel)
Oleh:Rahmat
Souwakil
Pemuda Desa Lumoy, Sedang
Belajar di Ternate
JIKA tidak ada halangan
(saya harap semoga tidak ada) maka 9 Desember 2015 mendatang masyarakat Buru
Selatan (Bursel), akan melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan lagi untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati untuk masa
bakti lima tahun kedepan. Wajah Bursel lima tahun kedepan ditentukan pada
pilkada Desember mendatang, juga sebaliknya wajah Bursel hari ini adalah ‘buah
dari lima tahun lalu’. Kini tahapan pilkada telah diselenggarakan dan mungkin
tidak lama lagi akan dibuka pencalonan Bupati dan Wakil Bupati. Itu artinya
bahwa sampai detik ini belum ada satupun calon Bupati dan Wakil Bupati yang
secara sah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum; yang ada sekarang hanya bakal
calon Bupati dan Wakil Bupati. Saya begitu yakin kini para bakal calon sedang
memasang kuda-kuda sekuat-kuatnya untuk merebut rekomendasi partai politik, sebagai
salah syarat singnifikan (kecuali calon independen) untuk ikut pesta demokrasi
lima tahunan yang akan diselenggarakan serentak 9 desember mendatang.
Seperti dikemukakan, bahwa Bursel akan
melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati
lima tahun kedepan. Bursel hari ini adalah Bursel masalalu, artinya bahwa tidak
akan ada Bursel sebagai kabupaten jika tidak diperjuangan oleh rakyat untuk
dimekarkan atau berpisah dari kabupaten induk Kabupaten Buru, pada 2008 silam.
Itu artinya bahwa Bursel hari ini adalah buah cinta rakyat lebih khusus lagi para
pejuang pemekaran Bursel. Bursel sebagai buah cinta sudah seharunya dijaga
dengan penuh kasih sayang agar bisa terus survival
ditengah guncangan ekonomi, politik dan masalah lainya dan bukan sebaliknya
diekspolitasi untuk diri sendiri. Menyebut Bursel sebagai buah cinta
mengingatkan saya pada cerita pemahat patung bernama Pygmalion, yang jatuh hati
pada patung buatannya sendiri.
“Pygmalion merupakan tokoh legendaris
dari Cyprus. Dalam narasinya Ovid, Pygmalion merupakan seorang pemahat yang
pada akhirnya jatuh cinta kepada patung seorang perempuan hasil pahatannya
sendiri. Suatu saat, dia berkesempatan untuk mengajukan permohonan kepada dewi
Venus. Dia memohon agar patung perempuan yang dia cintai itu bisa berubah
menjadi seorang perempuan sungguhan. Sepulang mengajukan permohonan, dia tiba
di rumahnya dan mencium patungnya tersebut dan merasakan kalau bibirnya terasa
hangat. Dia kemudian menciumnya lagi dan meraba dadanya dan merasakan bahwa
patung tersebut tidak keras lagi. Venus telah mengabulkan permohonan Pygmalion.
Dengan berkat dari Venus, Pygmalion kemudian menikahi patung yang sudah berubah
menjadi seorang wanita tersebut. Mereka kemudian memiliki seorang anak
laki-laki yang dinamai Paphos” (https://jfkoernia.wordpress. com/…/satu-dua-pygmalion- effect/, diakses 11/05/2015)”.
Bisa dilihat begitu besarnya cinta Pygmalion, pada hasil ciptanya sendiri,
sampai-sampai ingin menikahinya dan impian Pygmalion terbukti. Sama halnya
dengan rasa cinta rakyat Bursel yang ingin ‘’menikahi’’ Bursel (baca: ingin
menjadi Bupati dan Wakul Bupati).
Rakyat sebagai rasion de’etre, adanya Bursel kini telah ‘jatuh cinta’ pada Bursel, dengan alasan untuk tetap merawat dan membawa Bursel menuju cita-cita pemekaran. Moment Pilkada, menjadi instrumen untuk orang-orang yang sungguh cinta atau pura-pura cinta pada Bursel untuk berusaha mendapatkan restu rakyat untuk bisa memimpin Bursel lima tahun kedepan. Mereka yang kini (pura-pura) cinta pada Bursel sedang memasang kuda-kuda agar rekomendasi partai politik dan suara rakyat bisa jatuh ke tangan mereka untuk bisa memimpin Bursel. Bagi saya yang dibutuhkan rakyat Bursel adalah sosok pencinta dan bukan sebaliknya sosok ‘vampir’ penghisap darah rakyat dan mengekspolitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia untuk kepentingan sendiri.
Rakyat sebagai rasion de’etre, adanya Bursel kini telah ‘jatuh cinta’ pada Bursel, dengan alasan untuk tetap merawat dan membawa Bursel menuju cita-cita pemekaran. Moment Pilkada, menjadi instrumen untuk orang-orang yang sungguh cinta atau pura-pura cinta pada Bursel untuk berusaha mendapatkan restu rakyat untuk bisa memimpin Bursel lima tahun kedepan. Mereka yang kini (pura-pura) cinta pada Bursel sedang memasang kuda-kuda agar rekomendasi partai politik dan suara rakyat bisa jatuh ke tangan mereka untuk bisa memimpin Bursel. Bagi saya yang dibutuhkan rakyat Bursel adalah sosok pencinta dan bukan sebaliknya sosok ‘vampir’ penghisap darah rakyat dan mengekspolitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia untuk kepentingan sendiri.
Mencari
pemimpin penuh cinta
Tulisan ini saya buat ketika menerima pesan singkat dari
teman saya, Gusti Souwakil. Isi pesan teman saya menjadi stimulus untuk saya menulis
catatan ini. Jumat 15 Mei 2015, saya
mendapatkan pesan singkat dari teman se-kampung
yang kini berada di Jakarta. Pesan singkat itu baru saya baca secara lengkap
keesok harinya Sabtu 16 Mei 2015. Saya menukil sedikit saja pesan teman saya...... “Buru Selatan dijadikan lahan bisnis
pemimpin.... Anak negeri menjadi penonton di daerahnya sendiri......”
Ternyata teman saya muak dengan kondisi Bursel sekarang yang menjadi lahan bisnis para pemimpin. Yang
dimaksud lahan bisnis bukan untuk kesejahateraan rakyat tapi sebaliknya hanya
untuk ‘kantong pribadi’dengan kata lain memupuk harta dan kekuasaan dengan cara
tidak halal alias korupsi.
Melihat kondisi Bursel saat ini yang dijadikan lahan bisnis, membuat teman saya ‘bernyanyi’tentang
anak negeri untuk memimpin Bursel. Kegelisaan teman saya yang kedua ini agak
membuat saya sedikit bingun. Karena bagi saya diskursus tentang anak negeri
bisa membentuk nasionalisme kedaeraan, namun bukan berarti “haram”, semuanya bias
asal mampu membuat rakyat sejahtera. Bagi saya yang dibutuhkan adalah pemimpin
yang penuh cinta yang bisa mengayomi dan membimbing sekaligus membuat rakyat
tersenyum lebar. Tipikal pemimpin yang penuh cinta bisa datang darimana saja
tanpa dibatasi ruang.
Bursel kedepan membutuhkan pemimpin
yang penuh cinta dan bukan sebaliknya pemimpin berwatak ‘’vampir’’ yang hanya menghisap “darah” rakyat pada
moment pilkada dan pasca pilkada tercipta disparitas yang sangat berarti dengan
pemimpin yang terpilih. Pemimpin berwatak “vampire” hanya menjadikan rakyat
sebagai alas kaki menuju kursi kekuasaan. Pemimpin tipikal “vampire” memaknai
politik dalam prspektif Karl Marx, mengumpulkan kapital. Penumpukan ekonomi
dilakukan dengan cara korupsi dan membangun dinasti kekuasaan dengan cara
membuka kran-kran nepotisme.
Pemimpin penuh cinta yang dicari Bursel
adalah pecinta dalam prespektif Erick Fromm dan bukan pecinta dalam prespektif
Sigmund Freud. Bagi Fromm, cinta itu adalah seni. Olehnya itu orang membutuhan
pembelajaran dan pelatihan untuk bisa merasakan cinta. Hal ini penting
dikemukakan karena banyak orang yang mengaku cinta namun pada hakikatnya
hanyalah nafsu belaka untuk mengekspolitasi rakyat, mereka memakai cinta prespektif
Freud, karena bagi Freud cinta; pelampiasaan libido. Dengan demikian bahwa
pemimpin penuh cinta adalah pemimpin yang betul-betul memaknai kekuasaan
sebagai amanah untuk membawa rakyat mendekati pelabuhan kesejahteraan bukan
sebaliknya membawa rakyat Bursel semakin jauh dari kesejahteraan. Akankah
Bursel di 2015 bisa menemukan pemimpin penuh cinta itu?Entahlah. (*)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!