Namrole,
SBS.
Wonderful
Sail 2 Indonesia telah usai dan berjalan dengan lancar, sukses dan
aman. Namun dibalik kesuksesan dan pujian itu, ternyata ada banyak kritikan
pedas yang dilontarkan para wisatawan mancanegara yang menjadi hal menarik dan
perlu manjadi catatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buru Selatan (Bursel) dibawah
kepemimpinan Bupati Tagop Sudarsono Soulisa dan Wakil Bupati (Wabup) Buce Ayub
Seleky.
Sebab, pihak panitia, utamanya Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bursel dibawa kepemimpinan Kadis HM Souwakil harus
lebih berbenah diri dalam menyiapkan segala sesuatu demi menarik wisatawan
datang ke Kabupaten yang baru berusia tujuh tahun ini.
Salah satunya menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang mampu berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Sebab, Bahasa Inggris
merupakan bahasa Internasional yang sangat diperlukan wisatawan mancanegara
untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat lokal. Begitupun pramuwisata atau Guide di Kabupaten Buru Selatan (Bursel)
harus dibekali pengetahuan tentang tradisi budaya lokal setempat, agar dapat
lebih mempromosikan aneka potensi wisata setempat.
Hal tersebut dikemukakan Hilbrand Den Boon, salah
satu wisatawan asal New Zealand kepada SBS, Sabtu, 15 Agustus 2015 ketika
mengundang wartawan SBS, Yuliawati Batuwael menaiki Kapal Sailing Vessel (SV) Carrie miliknya lebih dari tiga jam.
Menurut pria asal Rotterdam, Belanda ini, sebagai
destinasi baru, Kabupaten Bursel banyak memiliki potensi wisata. Namun
sayangnya, tidak dibarengi dengan pembekalan pengetahuan tentang tradisi budaya
serta potensi wisata tersebut kepada para Guide.
"Hal ini, bukan hanya pendapat saya. Namun
merupakan pendapat banyak wisatawan yang datang di Namrole dalam ajang
Wonderful Sail 2 Indonesia di Namrole ini. Dimana, kami semua mengeluhkan hal
senada. Sebab, banyak pramuwisata yang disediakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
setempat, yang tidak mampu menjelaskan sejarah maupun kebiasaan adat
setempat," kata pria yang berprofesi sebagai perancang taman di New
Zealand ini.
Den Boon mencontohkan, saat dirinya tiba di Rumah
Tiga dan menyaksikan kehidupan masyarakat adat setempat. Muncul rasa
penasaranan dan dirinya pun menanyakan tentang arti dari penggunaan Lestari
atau Efutin pada rumah adat, yang juga dibarenggi dengan piring yang berisikan
kapur dan sirih kepada salah seorang pramuwisata. Namun ternyata, pramuwisata
tersebut tak mampu menjelaskan arti dari penggunaan simbol-simbol adat
tersebut.
"Ya, mungkin mereka (guide-red) tidak cukup fasih dan tidak memiliki perbendaharaan
kalimat, untuk menjelaskan kepada kami sehingga kami hanya meraih-raih saja tentang
arti tersebut, yang pastinya belum tentu bermakna senada," ujar kakek satu
cucu ini.
Kendati demikian, pria kelahiran negeri kincir angin
ini, mengaku cukup puas dan senang dengan pelayanan para pemandu wisata,
walaupun ada di antara pemandu wisata yang sama sekali belum fasih berbahasa
Inggris.
Lebih lanjut, Bapak dari tiga putri ini mengaku
penggunaan Bahasa Inggris yang tertera pada brosur dan buku panduan wisata yang
disediakan panitia, seharusnya dapat menggunakan Bahasa Inggris yang baik dan
benar. Sebab, Bahasa Inggris yang tertera sangat buruk sekali. Bahkan, pria
yang kini berusia 61 tahun ini, bertanya kepada SBS, siapakah penulis brosur
dan buku panduan wisata tersebut.
Menurut suami Maritje ini, buku panduan yang ada
saat bertandang di Banda, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) sangat bagus dan
jauh berbeda dengan yang ada di Bursel, yang masih terbilang buruk.
Tak hanya sampai disitu, pria ini pun turut
memgkritik kebersihan lingkungan di Namrole. Dimana, menurutnya, lingkungan di
daerah ini harusnya dijaga dan dilestarikan.
“Kalau jujur, sebenarnya kesan pertama kami ialah
Namrole kotor, sampah ada dimana-mana. Ketika kami tiba di Namrole sehari
sebelum acara Welcome Ceremony Wonderful
Sail 2 Indonesia, kami melihat pantai-pantai Namrole masih kotor dan masyarakat
sepertinya kurang bersahabat dengan lingkungan. Apalagi, sampah bukan hanya
dibuang begitu saja, tetapi sampah juga dibuang ke pantai dan itu kami lihat
sendiri. Ini tidak ramah lingkungan, sebab masyarakat belum sadar tentang
pentingnya kebersihan,” paparnya.
Maka dari itu, dirinya pun menghimbau agar para
siswa-siswi di Kabupaten Bursel dapat diajari sejak dini tentang budaya
membuang sampah pada tempatnya. Dimana, pelajaran tersebut bisa dipraktekan di
sekolah dengan meminta para siswa memungut sampah di halaman sekolah sebelum
masuk ke kelas.
“Itu bukan saja bisa dilakukan di sekolah, tetapi
harus juga menanamkan kesadaran tentang pentingnya kebersihan sebagai bagian
dari iman,” ucapnya pria asal Belanda yang hijrah ke New Zealand usai menikah
dengan istrinya itu.
Padahal, katanya lagi, Namrole, memiliki banyak
sekali potensi wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Namun, hal tersebut
tidak serta merta dapat mendatangkan para wisatawan mancanegara begitu saja,
tetapi Pemkab Bursel melalui Dinas Kebudayaan dan Parawisata Kabupaten Bursel
harus juga menciptakan suatau icon
wisata yang unik dan berbeda dengan daerah lain dan tidak perlu meniru daerah
lain.
Lebih dari itu, pria yang memiliki istri setahun
lebih tua ini mengaku, sistem di Indonesia, utamanya di tingkat Provinsi Maluku
maupun Kabupaten Bursel harus dibenahi lagi sehingga para
wisatawan yang ingin berkunjung tidak dibuat kerepotan untuk mengurus berbagai
surat di Imigrasi yang cukup berbelit-belit dan melelahkan serta menyita banyak
waktu.
“Belum lagi budaya jam karet di Indonesia, termasuk
di Kabupaten Bursel juga membuat kami bosan menunggu, sebab kalau kami harus
menunggu tanpa melakukan apa-apa, tentu kami sangat merasa rugi karena waktu
bagi kami sangat penting,” ujar ayah seorang putri yang kini mengabdi sebagai
guru Bahasa Inggris di Cina itu. (Yuli)
kritikan mantap itu.. tau rasa jua klu bgtu..
ReplyDeletePost a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!