Leksula, SBS.
Kendati Indonesia telah berusia
70 tahun. Sebuah usia yang bila dibandingkan dengan usia manusia merupakan
sebuah usia yang cukup matang. Namun, kemerdekaan itu ternyata masih belum
dirasakan semua warga Indonesia. Seperti yang dialami masyarakat yang menetap
di Desa Neath dan Desa Liang, Kecamatan Leksula, Kabupaten Buru Selatan
(Bursel).
"Meski baru saja
memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) pada Senin, 17
Agustus 2015 kemarin, namun kami masyarakat Neath merasa belum memiliki
Kemerdekaan yang sesungguhnya. Bagaimana kami dapat merasakan kemerdekaan bila
di Desa ini tidak memiliki jalan yang layak, sebagai penghubung Desa Neath
menuju Kota Kecamatan Leksula," ujar Tokoh Adat Roni Nurlatu, didampinggi
tokoh adat lainnya kepada wartawan, Selasa (18/8) di Neath.
Menurut Nurlatu yang juga
Kepala Soa Nurlatu Desa Neath, masyarakat di dua desa itu hanya memiliki satu
akses jalan. Itupun sebuah jalan yang sangat tidak memadai untuk disebranggi.
Pasalnya, jalan tersebut sangat berbatu-batu besar dan ada Sungai Nalbessy yang
harus disebranggi. Sementara sungai tersebut, hingga kini belum memiliki sebuah
jembatan sebagai akses penghubung sungai tersebut untuk dapat tiba di Desa
Neath dan Desa Liang.
Dimana, satu-satunya akses
jalan inilah yang menjadi tulang punggung masyarakat untuk dapat mencapai Ibu
Kota Kecamatan untuk menjajakan hasil kebunnya. Sebab, masyarakat kedua desa
tersebut, mayoritas berprofesi sebagai petani.
Beberapa tokoh adat setempat
mengaku kondisi jalan ini sudah membuat mereka merasa jenuh, sebab dengan
adanya wakil rakyat di parlemen Bursel hingga dua periode ini dan periode
Kepemimpinan Tagop-Buce (Top-Bu) akan memasuki babak berikutnya, namun
masyarakat tidak pernah merasa tertolong dengan hadirnya anak-anak negeri di
Eksekutif maupun Legislatif, yang mampu menolong mereka dengan membuatkan jalan
yang layak untuk dilewati.
Satu-satunya jalan ini, ketika
musim timur atau penghujan tiba akan membuat masyarakat di dua desa ini semakin
terisolir. Sebab, meluapnya air Sungai Nalbessy mejadi kendala untuk dapat
melintasi sungai yang cukup deras arusnya, sehingga masyarakat kedua desa ini
demi mencapai Leksula, terpaksa menyebrangi sebuah jembatan dari sebuah tali
nilon, yang dibuat oleh masyarakat setempat. Namun tali nilon yang dibuat itu
tak menjamin keselamatan sang pengguna, pasalnya tali itu ketika rapuh, atau
salah meniti tali tersebut, dapat
tercebur ke arus sungai yang dipadati bebatuan.
"Kami masyarakat kedua
desa ini yang berinisiatif untuk membuat jembatan darurat tersebut. Kami
menamakan jembatan itu, sebagai jembatan bunuh diri. Karena untuk melewati
jembatan itu, memerlukan keahlian sebab nyawa menjadi taruhan" kata
Nurlatu, yang diaminkan juga Remsi Tasane.
Toda dan Toma setempat mengaku
mengapresiasi pekerjaan jalan lintas Namrole-Leksula, yang saat ini tengah dikerjakan.
Sayangnya, menurut toda dan toma, semestinya pembangunan jalan lintas yang
menhubungkan Kecamatan tertua dan Ibu Kota Kabupaten, dibangun dari Leksula
menuju Namrole. Sebab pekerjaan yang dilakukan saat ini dari Nilaluken dan
Wantoto dinilai tak tepat sasaran, lantaran di Nilaluken dan Wantoto tidak ada
perkampungan masyarakat.
"Jadi kami toda dan toma
minta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) yang dipimpin Bupati Tagop Sudarsono
Soulissa dan Wakil Bupati (Wabup) Buce Ayub Seleky dan Para Wakil Rakyat, agar dapat mengalihkan
pekerjaan tersebut, melalui Desa Leksula. Apabila pekerjaan tersebut dikerjakan
dari Leksula, akan mempermudah ratusan Kepala Keluarga (KK) yang mendiami kedua
Desa itu, dapat menikmati jalan yang layak untuk mencapai Desa Leksula," kata
mereka.
Menurut mereka, seandainya
pekerjaan jalan lintas Namrole-Leksula dialihkan lima kilo meter dari Nilaluken
dan Wantoto, untuk membangun jalan lintas dari Leksula menuju Namrole, maka
desa yang ada penghuninya ini akan sangat tertolong. Sebab akses jalan ini
sangat dibutuhkan bahkan telah menjadi dambaan ratusan warga yang mendiami Desa
Neath dan Desa Leksula sejak Kabupaten ini dimekarkan. Berbeda bila dikerjakan
dari Nilaluken dan Wantoto yang belum berpenghuni.
"Pada waktu ingin menjadi
Kepala Daerah pada 2010 silam, Bupati pernah berjanji akan membuatkan jalan
dari Namrole menuju Leksula. Sayangnya kami hingga kini merasa kecewa dengan
janji Bupati yang kami anggap kosong. Sebab yang kami maksud adalah jalan yang
bisa dinikmati desa kami. Alhasil hingga kini kami hanya tinggal dalam
penderitaan" ujar Tasane.
Masyarakat dua desa ini,
kesehariannya berprofesi sebagai petani. Untuk dapat menjual hasil pertanian,
tidak ada angkutan yang dapat memuat hasil pertanian tersebut. Sehingga warga
harus memikulnya sendiri, atau mengangkutnya menggunakan jasa ojek. Tarif ojek
pun relatif mahal, sebab medan jalan sangat terjal dan berbatu. Mirisnya lagi,
apabila warga telah berhasil membawa hasil pertanian mereka ke Leksula untuk
dijual, namun tak laku, maka warga memilih untuk di berikan secara cuma-cuma,
demi mengurangi beban bawaan yang harus dibawa pulang ke rumah.
"Semuanya itu, karena
kondisi jalan yang sangat tak layak untuk di lewati. Bagaimana bisa
mensejahterakan masyarakat, bila kebutuhan jalan saja belum dapat dipenuhi.
Bila jalan yang layak sudah ada maka, pasti akan berdampak pada semua akses.
Yang tentunya dapat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tak
hanya itu, banyak proyek yang mau masuk ke dua desa ini, sayangnya terhalang
juga faktor jalan" kata Ishak Nurlatu, salah satu tomas setempat.
Ishak juga melantunkan pantun
kekecewaan mereka, yang disenandungkan bagi pemerintah. Berikut bunyi pantun
itu ;
Dukung
Kambing diatas papan taruh akang di mangga dua, jika kami mendukung bapa,
biking jalan par katong jua. Tabang pisang masa bodoh, goreng akan deng cuka,
jang bapa lia katong bodoh, lalu biking akang iko suka. Hita-hita ana gurita,
kasih makang tuan pendeta, ini hari katong carita tentang katong pung
menderita.
Sedangkan Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bursel Arkilaus Solissa saat membuka
rapat evaluasi Badan Pengurus Wilayah (BPW) Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA)
Bursel dan Danau Rana, di depan puluhan masyarakat dan peserta rapat mengaku
akan mempeejuangkan kondisi jalan tersebut agar dapat ditingkatkan statusnya
menjadi jalan Nasional, sehingga dapat diintervensi dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten, sebab pekerjaan jalan tersebut bersumber
dari APBD Provinsi Maluku.
"Ini bukan pertama kalinya
saya melintasi jalan ke Desa Neath ini, dan saya juga sudah merasakan
penderitaan yang masyarakat dua Desa ini rasakan. Yang harus bersusah payah
menempuh perjalanan untuk sampai ke Leksula. Maka itu, kami DPRD Bursel akan
memperjuangkan untuk meningkatkan status jalan tersebut, menjadi jalan
strategis nasional seperti yang telah kami lakukan terhadap jalan
Namrole-Kepala Madan, sehingga semua anggaran baik APBD Pusat, APBD Provinsi
dan APBD Kabupaten kita fokuskan untuk menyelesaikan jalan, yang menjadi
kebutuhan mendasar rakyat, yang harus di perhatikan lebih utama, sebelum
memikirkan yang lain, sebab kebutuhan akses jalan di Desa Neath dan Liang
merupakan permasalahan yang penting, demi menguranggi penderitaan
masyarakat" ujar Solissa.
Ketua DPRD mengaku saat ini pekerjaan jalan
Namrole-Leksula bersumber dari APBD Provinsi dan tidak dapat diintervensi oleh
APBD Kabupaten Bursel. Pekerjaan jalan itu, sudah mulai dikerjakan dari
Namrole, dan berharap agar dapat dikerjakan tuntas hingga ke Leksula, sehingga
permasalahan jalan di Leksula juga dapat diatasi. (SBS-03)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!