Namrole, SBS
Gubernur
Maluku, Said Assagaff mengajak seluruh masyarakat di Maluku, terutama di
Kabupaten Buru Selatan (Bursel) untuk tetap mencintai berbagai pangan lokal
yang menjadi kekayaan alam di daerah ini.
Ajakan
Assagaff itu disampaikan ketika dirinya membuka acara Gelar Pangan Lokal
Spesifik Hotong dan Makan Patita yang diselenggarakan di lapangan upacara
Kantor Bupati Bursel, Senin (19/12).
“Secara
nasional, begitu pentingnya pengembangan dan pemanfaatan pangan lokal untuk
membangun ketahanan pangan di Indonesia, maka pada Tahun 2.000 pemerintah
Indonesia telah mencanangkan kegiatan Gerakan Cinta Pangan Lokal. Dalam konteks
itu, saya yakin masyarakat Bursel tetap dan selalu mencintai pangan lokal,
disaat banyaknya serbuan bahan pangan dari luar yang sudah dikelola dalam berbagai
bentuk makanan siap saji atau instan,” kata Assagaff.
Assagaff
bahkan sangat mengapresiasi dan mengucapkan selamat atas terlaksananya kegiatan
‘Gelar Pangan Spesifik Hotong’ yang diselenggarakan oleh Pemkab Bursel melalui
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Bursel itu.
“Hal
ini menunjukkan pemerintah serta masyarakat Kabupaten Bursel sangat tanggap
terhadap pertingnya pengembangan dan pemanfaatan potensi lokal untuk mewujudkan
kemandirian dan kesejahteraan di daerah ini,” ujarnya.
Karena,
lanjut Assagaff, sesungguhnya daerah kita memiliki sumber daya pangan lokal
yang punya nilai ekonomis sangat menjanjikan dan Hotong adalah salah satu
potensi pangan khas masyarakat Bursel yang perlu dikembangkan.
Menurutnya,
Maluku secara umum dan khususnya Kabupaten Bursel memiliki potensi sumber daya
pangan lokal yang khas dan beraneka ragam, antara lain sagu, jagung, ubi kayu
(kasbi), ubi talas (keladi), kumbili, ikan dan khususnya Hotong.
“Hotong
yang sangat kaya akan kalori dan protein. Dalam perspektif sosio-ekonomi,
potensi pangan lokal yang khas seperti ini sejatinya harus dilestarikan dan
dikembangkan sebagai makanan pokok masyarakat.
Karena
sebenarnya secara turun temurun sudah dikonsumsi sehingga bahan pangan lokal
itu telah menjadi bagian dari identitas masyarakat kita,” ucapnya.
Sayangnya
kecintaan terhadap produk-produk lokal ini belum seperti yang diharapkan kita
bersama, ini terjadi akibat pengaruh berbagai makanan serba instan dengan
tawaran yang gurih serta melezatkan.
“Terhadap
fakta itu, saya bersyukur karena pemerintah Kabupaten Bursel hari ini bisa
melaksanakan Gelar Pangan Spesifik Hotong untuk menuju kemandirian pangan di
daerah ini. Gerakan ini diharapkan bisa menumbuhkan lagi rasa cinta warga kita
untuk pangan lokal yang memiliki karbohidrat tinggi,” terangnya.
Apalagi,
kata Assagaff, Pemerintah daerah selalu berupaya untuk mendorong laju
pembangunan dengan menggelorakan warganya untuk mencintai pangan lokal yang
bertumpuh pada empat pilar, yaitu : Meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro
growth), Menanggulangi kemiskinan (pro poor), Pengurangan penangguran (pro
job), dan menjamin pelestarian lingkungan hidup (pro environtment).
“Apa
yang saya sebutkan ini sejatinya sejalan dengan 11 prioritas pembangunan yang
pernah disampaikan Presiden Republik Indonesia pada Rapat Kerja Gubernur,
dimana aspek ketahanan pangan harus
menjadi hal utama, dalam hal peningkatan kesejahteraan warga masyarakat
kita,” ungkapnya.
Olehnya
itu, Assagaff memberikan apresiasi yang tinggi kepada pemerintah Kabupaten
Bursel yang sudah melakukan langkah-langkah terobosan baru, agar kecintaan
warga terhadap pangan lokal terus meningkat.
Melalui
kegiatan Gelar Pangan Spesifik Hotong
ini, Assagaff harapkan tidak hanya
berhenti pada kegiatan saat ini saja, tetapi harus ditindaklanjuti dengan
mempromosikan penganekaragaman konsumsi Hotong dengan peningkatan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat akan prinsip gizi seimbang dan sehat, serta
meningkatkan ketrampilan dalam pengembangan olahan Hotong serta mengembangkan
dan mendesiminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan Hotong sesuai selera
masa kini.
“Upaya
ini tentu tidak dapat dilaksanakan secara parsial, tetapi harus melibatkan
berbagai institusi terkait, sehingga dampak program ini akan membawa hasil yang
maksimal,” katanya.
Kegiatan
ini, kata Assagaff lagi, sejatinya memiliki tujuan untuk mengurangi
ketergantungan terhadap beras dan terigu, tetapi juga merupakan upaya untuk meningkatkan perbaikan
gizi masyarakat, menuju pola pangan harapan, sehingga terwujud masyarakat yang
berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi.
“Basudara
samua yang beta cintai. Beta mau kasih inga katong semua jua, jang ballaga
biking diri jadi orang kota, lalu mau dan seng mau making makanan dari kampong.
Misalnya ada yang menganggab makanan lokal seperti sagu, papeda, sinoli,
kombili, kasbi, kaladi, patatas itu identik dengan makanan kampungan, padahal
makanan seperti ini mengandung karbohidrat dan gizi yang sangat baik dan dewasa
ini menjadi makanan yang sangat digemari Negara-negara maju,” ingatnya.
Sebaliknya,
tambah Assagaff, makanan siap saji seperti KFC (Kentucky Fried Chicken0, MC
Donald dan Donald Kentucky Texas yang berasal dari Eropa dan Amerika, yang oleh
katong menganggapnya sebagai selera orang-orang kaya di Indoneai, justru di
negara-negara asalnya menjadi makanan kelas menengah kebawah, yaitu makanan
orang-orang yang secara ekonomi kurang layak.
“Beta
mau bilang secara sosiologis orang-orang memiliki paradigma seperti ini
mengalami Tunggakan Budaya. Bahasa kasarnya, makanan orang miskin disana,
menjadi makanan orang yang sok kaya disini,” cetusnya.
Dengan
demikian, Gelar Pangan Spesifik Hotong hari merupakan satu jawaban dari banyak
keinginan dan kemauan keras pemerintah daerah Kabupaten Bursel dengan semua
stakeholder serta masyarakatnya, dalam upaya meingkatkan kecintaan terhadap
pangan lokal di tengah diversivikasi pangan luar yang cukup kompetitif.
“Harapan
saya, dari Gelar Pangan ini akan terlahir semacam advokasidan promosi pangan
lokal unggulan, khususnya Hotong yang selain bisa dikonsumsi rumah tangga, juga
berdaya saing di pasaran,” ujarnya.
Untuk
menjaga kesinambungannya, Assagaff mintakan perhatian kita semua untuk
melakukan langkah-langkah terobosan pengembangan sumber daya pangan lokal yang
ramah lingkungan dan pro ketahanan pangan masyarakat, antara lain menjaga
kelestarian alam dari perilaku bertani dengan cara membakar hutan, serta
mencegah terjadinya rawan pangan sebagai akibat perubahan musim dan cuaca
ekstrim, termasuk perilaku petani yang mungkin saja bisa beraih profesi
sehingga berpotensi mengganggu ketersediaan pangan masyarakat kita kedepan.
Assagaff
mengingatkan, apa yang sudah dilaksanakan ini besar manfaatnya bagi rakyat.
Karena itu tingkatkan terus gerakan ini hingga merata ke berbagai level
masyarakat kita. Gelar pangan boleh selesai, tetapi semangat untuk mengkonsumsi
pangan lokal tidak boleh berakhir di tempat ini.
“Semoga
yang dilaksanakan merupakan upaya perkenalan dan sarana informasi kepada
masyaraat bahwa pangan lokal juga dapat menghasilkan pangan yang beragam,
bergizi seimbang, aman dan punya nilai daya saing ekonomi yang produktif,”
harapnya.
Karena,
tambahnya, dengan terpenuhinya kesejahteraan masyarakat berbasis ketahanan
pangan lokal kita dapat mandiri dan berdaulat secara ekonomi, dalam rangka
mewujudkan pembangunan Maluku yang rukun, damai, aman, sejahttera, adil,
berdaya saing dan religius dijiwai semangat Siwalima.
Sementara
itu, Bupati Tagop Sudarsono Soulissa yang juga Ketua Dewan Pangan Kabupaten
Bursel dalam laporannya mengatakan, kegiatan yang dilaksanakan saat ini adalah
merupakan keberlanjutan dari pelaksanaan Lounching One Day No Rice yang
dilaksanakan pada Bulan September 2014, sekaligus sebagai implementasi dari
Peraturan Bupati Nomor 22 Tahun 2015 tentang Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
“Kegiatan
ini juga sebagai langkah untuk memantapkan pembangunan ketahanan pangan yang
lebih efisien, efektif dan berdaya saing tinggi guna mewujudkan pemantapan
ketahanan pangan untuk mengurangi konsumsi nasi dan membiasakan diri
mengkonsumsi makanan pokok lokal yang beragam, bergizi, sehat dan aman sampai
tingkat perseorangan secara berkelanjutan,” kata Tagop.
Lanjut
Tagop, bila kita telusuri bersama, maka saat ini pangan lokal kurang diminati
masyarakat, bahkan tanpa terasa pangan lokal mulai mengalami degradasi sosial
akibat kemajuan peradaban teknologi, sehingga masyarakat banyak bercenderung
merubah pola makan sebagai akibat perubahan kultur sosial ekonomi dan mahalnya
harga pangan lokal.
Dengan
demikian, pelaksanaan Gelar yang dilaksanakan saat ini ditunjukkan sebagai
salah satu upaya mewujudkan kedaulatan pangan dengan mengangkat pangan lokal
teristimewa Hotong yang merupakan pangan lokal spesifik Kabupaten Bursel
sebagai pendukung utama agar masyarakat
lebih mengapresiasi Hotong sebagai pangan lokal utama dan meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk hidup dengan pola konsumsi pangan yang aktif dan
produktif, selain itu menjadi sebuah kesempatan untuk mengurangi ketergantungan
pada beras.
“Akibat
adanya pemberian sumsidi pada harga beras, diharapkan kedepan pemerintah juga
dapat memberikan subsidi harga kepada petani umbi-umbian,” harap Tagop.
Menurut
Tagop, bila dilihat dari kontribusi PDRB Kabupaten Bursel, memperlihatkan bahwa
sektor pertanian membberikan kontribusi yang cukup besar dibandingkan dengan
kontribusi sektor lainnya, namun dari hasil analisa Neraca Bahan Makanan atau
NBM Kabupaten Buursel Tahun 2016, menunjukkan angka Kecukupan Energi di tingkat
Konsumsi pangan baru mencapai 1.436 kilo kalori/kapita/hari/orang dari nilai
yang dianjurkan sebanyak 2.000 kilo kalori/kapita/hari/orang.
Sedangan,
pada tingkat penyediaan Angka Kecukupan Energi Konsumsi baru mencapai 1.192
kilo kalori/kapita/hari/orang dari yang dianjurkan sebesar 2.200 kilo
kalori/kapita/hari/orang.
Demikian
pula, Pola Pangan Harapan Kabupaten Bursel Tahun 2016 baru mencapai 40,82 dari
nilai skor maksimum. Dan untuk ketersediaan protein baru mencapai 23,98
gram/kapita/hari dari 57 gram/kapita/hari, juga untuk konsumsi protein baru
mencapai 35,3 gram/kapita/hari dari skor 52 gram/kapita/hari.
Selanjutnya
dari analisa Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) Kabupaten Bursel Tahun
2016, terdapat dua prioritas yaitu prioritas yang paling rentan terhadap
kerentanan pangan berada pada 4 kecamatan yang tersebar di 7 desa, sedangkan
priortas rentan terhadap kerentangan pangan pangan terdapat pada 5 kecamatan
dan tersebar pada 23 desa.
“Dari
hasil analisa terhadap beberapa indikator tersebut diatas, menunjukkan
sumbangan ketersediaan dari semua faktor dari semua kelompok pangan masih belum
mencukupi kebutuhan pangan penduduk pada setiap tahun, dikarenakan untuk
kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan sangat dipengaruhi oleh alur
distribusi yang didukung dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai,”
ujarnya.
Dengan
demikian, tambah Tagop, untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka kami sangat
membutuhkan dukungan serta partisipasi lewat perencanaan program yang bersumber
dari Pemerintah Pusat, juga Pemerintah Provinsi dan selanjutnya untuk semua
stakeholder atau pemangku kepentingan di daerah agar dalam perencanaan
programnya dapat dilakukan secara komprehensif dengan merujuk pada leading
sektor. (SBS-3L)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!