Namrole, SBS
Keluarga besar
marga Latbual yang memiliki hak ulayat atas tanah adat di Kecamatan Lolongguba,
Kabupaten Buru yang kini digunakan sebagai lokasi pembangunan proyek Bendungan
Waeapo merasa dirugikan oleh pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku.
Pasalnya hingga
kini, sejumlah kesepakatan bersama yang telah disepakati tak kunjung
direalisasikan oleh pihak BWS kepada keluarga besar marga Latbual, namun pihak
BWS secara sepihak seenaknya menggunakan lahan milik keluarga besar marga
Latbual untuk melakukan proses pembangunan Bendungan tersebut.
Tak terima
dengan kondisi itu, pihak keluarga Latbual pun mengancam akan mengerahkan
seluruh anak adat marga Latbual untuk melakukan Sasi Adat terhadap proyek
pembangunan Bendungan Waeapo itu.
“Kalau sampai
jangka waktu yang ditentukan untuk bertemu dengan Kepala BWS Maluku tidak
direspon dengan baik, maka dalam waktu dekat ini, seluruh anak marga Latbual
akan terjun ke lapangan untuk melakukan sasi adat terhadap seluruh lahan milik
marga Latbual, baik itu jalan masuknya, lokasi pekerjaannya akan kita tutup
secara adat,” tegas perwakilan marga Latbual, Mandomis Latbual kepada wartawan
di Namrole, Selasa (27/08).
Sebab,
lanjutnya, pihaknya tengah menunggu kabar dari pihak BWS tentang kepastian
baliknya Kepala BWS Maluku dari Jakarta.
“Infonya paling
lambat hari Rabu Kepala BWS balik dari Jakarta dan kami menunggu, jika sampai
waktu itu tidak ada respon untuk bertemu, maka pihak akan bersikap,” tegasnya.
Mandomis
menjelaskan, beberapa hari lalu pihaknya bersama para petinggi marga Latbual
telah terjun ke lokasi lahan milik keluarga besar Marga Latbual yang kini
tengah dikerjakan proyek Bendungan. Sesampainya disana, pihaknya cukup kaget
karena ternyata pihak BWS belum merealisasikan sejumlah kesepakatan kepada
keluarga besar marga Latbual, namun ternyata proyek tersebut sudah dikerjakan
diatas lahan milik keluarga besar Latbual.
“Kami telah
meninjau lokasi pekerjaan itu dan itu sangat merugikan masyarakat Waelua
(Latbual) karena belum ada kesepakatan yang dibangun dengan masyarakat tetapi
pekerjaan sudah dilakukan,” tegasnya.
Mestinya, kata
Mandomis, pihak BWS melakukan kesepakatan terkait dengan hak-hak adat itu,
bagaimana pembebasan lahannya dan cara bayar lahan ini bagaimana karena disitu
ada hak hidup masyarakat yang mesti ditepati dan dilaksanakan oleh pihak BWS.
Katanya lagi,
selain proses pekerjaan di lahan marga Latbual itu, juga ada beberapa item
kesepakatan yang sampai saat ini belum direalisasi oleh pihak BWS. Diantaranya
ialah proses pembangunan Asrama Mahasiswa Adat di Ambon yang sampai saat ini
tidak ada ujung kabar berita pembangunannya bagaimana, kemudian proses
penggusuran terhadap sejumlah tempat rumah pun belum dilakukan, termasuk
insentif terhadap para tokoh-tokoh adat juga belum dilakukan.
“Atas peristiwa
kesepakatan-kesepakatan yang belum dilakukan ini, marga Latbual berpendapat
bahwa pihak BWS tidak akan melakukan pekerjaan pada lahan kami sampai dengan
ada kesepakatan dan pembicaraan,” paparnya.
Dimana, hal itu
telah disampaikan langsung kepada perwakilan BWS saat pertemuan di Wamsait
(Unit11) Kabupaten Buru. Dimana, pihak keluarga besar marga Latbual ingin
bertemu secara langsung dengan kepala BWS Maluku untuk menyampaikan secara
langsung apa yang menjadi persoalan bagi keluarga besar marga Latbual.
Apalagi,
tambahnya, dalam komunikasi pihak keluarga Latbual dengan PPK ternyata
terungkap kalau ada sesuatu yang dibangun dan terkesan merugikan marga Latbual.
Dimana, ada oknum-oknum tertentu yang mengaku dirinya Raja dan menentukan akan
memberikan santunan kepada beberapa tokoh adat yang berusaha di atas lahan itu.
“BWS mengaku dia
berhubungan dengan orang yang mengaku dirinya raja, bagi kami dari perspektif
hukum adat Buru, orang yang mengaku dia Raja atau siapa pun itu tidak ada tanah
yang dimiliki oleh Desa atau Raja, tapi tanah itu berbasis marga sehingga Raja
tidak berhak atas tanah milik marga lain,” paparnya.
Olehnya itu,
tambahnya, bagi kami ini merupakan sebuah proses pembodohan yang dilakukan.
Masa lahan adat masyarakat, orang diberikan santunan lalu lahan itu dibebaskan,
proses pembahasan lahan itu dia terpisah dari santunan. Santunan itu diartikan
oleh orang disini sebagai insentif/honor terhadap para tokoh-tokoh adat yang
berpartisipasi aktif nantinya dalam mensukseskan proses pekerjaan itu. Jadi
insentif atau yang mereka sebut santunan itu terpisah dengan hak-hak masyarakat
disitu.
Mandomis
menuding, pihak BWS melalui PPK sepertinya menskenariokan hanya bertemu dengan
beberapa orang tua marga yang bisa diatur untuk memberikan santunan dan
melakukan proses pekerjaan.
“Padahal lahan
ketel atau dusun kayu putih yang dikelola, silahkan siapa yang mengelolahnya
berurusan dengan yang bersangkutan, tapi tanah ulayat itu adalah milik marga dan
milik bersama, bukan milik orang per orang sehingga pihak BWS keliru kalau
berhubungan dengan 1 orang yang mengelola ketel itu dan menyampaikan bahwa itu
sudah urusan selesai, tidak. Karena urusan tanah itu tanah marga, bukan tanah
orang per orang,” tandasnya.
Dugaan Korupsi
Selain itu,
lanjut Mandomis, di dalam pertemuan resmi di daerah Wamsalit, Kabupaten Buru
antara seluruh pemangku adat yang dihadiri oleh Kepala BWS, Karo Bidang
Pemerintah Provinsi Maluku atas nama Gubernur Maluku, perwakilan Kejaksaan
Tinggi Maluku, perwakilan Polda Maluku, Wakil Bupati Buru maupun Dinas
Kehutanan telah disepakati bahwa biaya upacara adat untuk pembebasan penggunana
Sungai Waeapo di lokasi proyek itu sebesar Rp. 700 juta untuk tujuh marga atau
tujuh soa (Noropito). Dimana, sejak dahulu orang pun tahu bahwa Waeapo itu
punya tujuh marga.
“Rp. 700 juta
itu kepada tujuh marga atau tujuh soa tadi yang semenjak dahulu kalah mereka
dikatagorikan sebagai Noropito itu,” ungkapnya.
Namun, di tengah
perjalanan, tidak tahu apa yang menjadi alasan, apa yang menjadi dasar, ada
orang yang mengajukan permintaan ke BWS dan mencairkan anggaran sebesarRp. 900
juta.
“Bagi kami ini
adalah sebuah kejahatan yang merugikan Negara, sebab yang semestinya proses
pembayarannya itu Rp. 700 juta, bukan Rp. 900 juta. Kesepakatan muncul lagi Rp.
200 juta ini dimana? Sebab, kesepakatan resmi yang dihadiri oleh seluruh
stakeholder itu Rp. 700 kepada 7 soa, bukan 9 soa,” jelasnya.
Lanjutnya,
dengan adanya pencairan Rp. 900 juta ini mengindikasikanadanya praktek korupsi
dan harusnya diproses sesuai hukum yang berlaku.
“Cairnya Rp 200
juta ini mengindikasikan adanya oknum-oknum yang terlibat dalam melakukan
tindakan kejahatan merugikan keuangan Negara, karena Rp. 200 juta ini siapa
yang minta, kesepakatan dimana dan kasih untuk siapa. Kalau dikasih untuk
orang-orang diluar 7 marga ini atau 7 soa ini, itu juga masalah,” katanya.
Oleh karena itu,
tambahnya, kami meminta kepada pihak penegak hukum agar pihak BWS yang turut
mencairkan anggaran ini maupun orang yang mengaku dirinya tokoh adat dan minta
pencairan ini serta orang yang menerima diluar tujuh marga ini juga harus
diproses secara hukum, karena Rp. 200 juta ini bukan uang kecil, tetapi ini
uang Negara yang mesti dipertanggung jawabkan.
Tambahnya lagi,
jika ada orang adat yang terlibat disitu, maka ini merupakan pembohongan
terhadap sejarah.
“Sebab, kalau
mereka mengatakan ada 9 marga atau 9 soa itu pembohongan, karena sejak dulu
tidak ada yang namanya kayeli dengan waeapo itu terkenal dengan rumpun Noropito,
bukan Norocia. Sebab Norocia itu Waetina, kita itu tujuh,” jelasnya.
Sementara itu
Barbalina Matulessy dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) dan Hak Asasi
Manusia (HAM) Maluku kepada wartawan mengaku akan melakukan pendampingan
terhadap keluarga besar marga Latbual untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang
harusnya direalisasikan oleh BWS kepada keluarga besar Latbual.
“Kami dari YLBH
dan HAM Maluku akan mendampingi dan mengawal keluarga besar Latbual dalam
memperjuangkan hak-hak mereka hingga pihak BWS merealisasikan apa yang menjadi
hak mereka,” tuturnya. (SBS/01)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!