Oleh : Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H.
Pakar Hukum Tata Negara
Presiden Joko
Widodo telah mengumumkan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke salah satu
wilayah di Provinsi Kalimantan Timur. Keputusan politik ini tentu memiliki
konsekuensi hukum, setidaknya harus diikuti kebijakan hukum yang futuristik
bagi masa depan republik indonesia.
Dalam konteks
sejarah ketatanegaraan Indonesia, pemindahan ibu kota negara Indonesia bukanlah
hal yang baru karena pernah beberapa kali dilakukan, walaupun secara
konstitusional harus dibaca dalam kerangka serta konteks darurat negara.
Pertama,
perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta ketika terjadi agresi Militer I
Belanda pada 29 september 1945. Itu artinya hanya berselang lima bulan setelah
deklarasi kemerdekaan RI.
Pada tanggal 2
januari 1946 sultan HB IX mengirim kurir ke jakarta dan menyarankan agar ibu
kota NKRI dipindahkan ke Yogjakarta, sehingga pada tgl 4 januari 1946 Soekarno
memindahkan ibu kota negara ke Yogjakarta untuk pertama kalinya. Alasan paling
mendasar pada saat itu adalah karena Jakarta telah jatuh ke tangan Belanda,
maka Yogyakarta dinilai yang paling siap dari sisi ekonomi, politik dan
keamanan.
Setelah itu
terjadi agresi militer belanda II pada 29 desember 1948,yang mengakibatkan
jatuhnya Yogyakarta sebagai ibu kota NKRI ke tangan Belanda. Namun sebelum Kota
Yogyakarta dikuasai Belanda, Presiden Soekarno telah memberikan surat kuasa
kepada Safruddin Prawiranegara yang berada di bukit tinggi untuk mendirikan
pemerintahan darurat. Safruddin kemudian mengumumkan berdirinya Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi Sumatera Barat pada tanggal 22
Desember 1948.
Waktu bergulir,
setelah agresi Belanda berakhir dan adanya perjanjian terkait eksitensi negara
kesatuan Republik Indonesia, ibukota negara kemudian kembali lagi ke Jakarta.
DAERAH KHUSUS IBUKOTA
Penamaan Daerah
Khusus Ibukota pertama kali tertuang dalam Penetapan Presiden Republik
Indonesia (Perpres) No. 2 Tahun 1961 Tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS No. 2 Tahun 1961.
Dalam
konsideransnya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibukota
Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi
seluruh bangsa Indonesia sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum
dari kota internasional sesegera mungkin.
Landasan yuridis
berikutnya adalah UU No. 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya Tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama
Jakarta. Undang-undang ini pun hanya berisi dua pasal yang menegaskan status
Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota serta masa berlaku surutnya dari 22 Juni
1964, yaitu sejak Presiden Soekarno mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
Pada bagian
pertimbangan dan penjelasan umum UU No. 10 Tahun 1964 tertera bahwa penegasan
ini diperlukan mengingat Jakarta telah termasyhur dan dikenal, serta
kedudukannya yang karena merupakan kota pencetusan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pusat penggerak segala kegiatan,
serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar
ideologi Pancasila ke seluruh dunia.
Pada tahun 1990,
Presidan Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengundangkan UU No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan
Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta.
Dalam
konsiderans disebutkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia
memiliki kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam mendukung dan
memperlancar penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia maupun
dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya
bangsa Indonesia;
Saat reformasi
tahun 1998, Presidan Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui
UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara
Republik Indonesia Jakarta, UU ini mempertegas kekhususan Jakarta karena
statusnya sebagai Ibukota Negara.
Demikian pula
ketika era Presidan Susilo Bambang Yudhoyono, lahir UU No. 29 tahun 2007
tentang Pemerintahan Propinsi Daerah khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Dari sisi ilmu
hukum tata negara, perubahan Ibukota ke kota lain tak otomatis mengubah
kekhususan Jakarta. Sebab secara teoritik, tergantung pilihan politik hukum
dari para pembentuk Undang-Undang.
Artinya, bisa
saja Jakarta tetap diberikan status khusus dalam bentuk lain, misalnya terkait
alasan-alasan historis sebagai bekas Ibukota Batavia, atau karena Jakarta
merupakan bekas ibu kota negara, atau alas an-alasan khusus lainya yang secara
faktual dapat diterima sebagai “legal reasoning”. Jadi itu tergantung politik
hukum pembentuk undang-undang.
Argumen hukum
itu dapat merujuk pasal 18B ayat (1) UUD NRI Th 1945 dimana “Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Konsekuensinya, selama
memiliki status khusus atau istimewa berdasarkan Undang-Undang, secara
konstitusional Jakarta bisa jadi tidak akan mengalami banyak perubahan dalam
pengelolaan Pemerintahan daerah. Setidaknya bisa merujuk kepada keistimewaan
Yogyakarta dan Aceh karena pertimbangan sejarahnya.
KONSTITUSI IBUKOTA NEGARA
Dalam
konstitusi, setidaknya ada dua pasal yang menyinggung tentang Ibukota Negara
yakni pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 23G ayat (1) UUD
1945.
Ketentuan Pasal
2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa “ MPR bersidang sedikitnya sekali dalam
lima tahun di Ibukota Negara”. Sedangkan Pasal 23G ayat (1) menegaskan bahwa “BPK
berkedudukan di Ibukota Negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”.
Ketentuan senada juga ditemukan dalam beberapa undang-Undang, yang mengharuskan
lembaga tertentu berkedudukan di Ibukota Negara;
Secara
konstitusional, Presiden sebagai kepala negara mempunyai kewenangan
konstitusional untuk menyatakan pemindahan ibu kota negara RI. Hal ini dijamin
dengan ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang
dasar”.
Pasal 25A UUD
1945 juga menegaskan hal itu yang menyebutkan “Negara kesatuan republik
indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah
yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.
Setelah membuat
keputusan sesuai kewenangan konstitusional yang dimiliki, Presiden
menindaklanjuti keputusannnya untuk dibahas secara operasional dalam bentuk
pengajuan RUU,serta dilakukan penyelarasan serta perubahan atas berbagai
perundang-undangan terkait bersama dengan DPR.
Konsekwensi
secara teknis ketatanegaraan sekaitan dengan pemindahan ibu kota adalah seluruh
lembaga lembaga negara utama yang merupakan organ konstitusional, semisal
Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, BPK, KPU, dan lainnya harus berada di ibu kota
negara yang baru.
Juga, harus
diikuti perubahan berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat
organik maupun sektoral, sepanjang yang berkaitan dengan status badan, lembaga
yang berkaitan dengan ibu kota negara, sebagai implikasi teknis ketatanegaraan.
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!