Puluhan tokoh adat se-Kabupaten Buru Selatan (Bursel), Rabu, (27/11) menyambangi DPRD kabupaten setempat guna menyampaikan aspirasinya untuk ditindaklanjuti oleh lembaga Rakyat Bursel tersebut.
Para tokoh adat yang mewakili 24 marga di Pulau Buru ini saat tiba langsung diterima oleh Wakil Ketua I DPRD Bursel, Jamatia Booy dan Wakil Ketua II La Hamidi serta anggota DPRD lainnya.
Puluhan Tokoh Adat ini dipersilahkan untuk melakukan audiens di ruang rapat guna membicarakan apa yang menjadi keinginan dan keluhan mereka.
Di kesempatan tersebut, para Tokoh Adat menyampaikan keluhannya, diantaranya terkait penolakan mereka terhadap Danau Rana yang akan dijadikan sebagai tempat wisata dunia. Penolakan ini lantaran menurut Tokoh-tokoh adat bahwa Rana merupakan tempat sakral dari 24 marga yang mendiami pulau Buru, sebab tempat tersebut adalah tempat tinggal awal leluhur 24 marga dimana sebelum ke 24 marga tersebut berpencar ke tempat tempat lain yang ada di pulau Buru.
Walaupun saat ini Danau Rana secara administrasi pemerintahan berada di bawah wilayah Kabupaten Buru, namun secara adat Danau Rana merupakan milik bersama 24 marga, sehingga para tokoh adat ini bersikeras menolak Danau Rana dijadikan tempat wisata, karena mereka kuatir nilai-nilai dan tatanan adat yang ada akan dirusak dan hilang.
Keluhan lainnya, para tokoh adat ini berkeinginan agar nama Kecamatan Fena Fafan diganti dengan nama Mehet Lalen, sebab menurut mereka nama Fena Fafan hanya ada satu di Pulau Buru yakni berada di Danau Rana yang merupakan tempat asal mula kehidupan dari 24 marga.
Disamping itu, para tokoh adat ini juga mengeluhkan insentif mereka sebagai tokoh adat, dimana awalnya mereka mendapatkan insetif Rp.1.500.000, namun saat ini, mereka rata-rata mendapatkan hanya Rp.200.000 per bulan.
Menurut mereka, dalam pengurusan insenteif dari bagian Kesra, untuk tokoh adat yang berada jauh dari Kota Namrole sudah memakan biaya yang jika di hitung-hitung malah besaran anggaran yang dikeluarkan sudah melebihi nilai dari insetif yang didapat.
Selanjutnya, mereka juga menuntut untuk pegawai honorer atau kontrak, harus ada perwakilan dari 24 marga, minimal ada 2 orang untuk setiap marga tersebut.
“Penetapan pegawai Honor untuk 24 marga ini kalau boleh kami minta tidak banyak karena 24, kalau bisa 2 setiap marga supaya itu dia merata dan tidak ada pilih kasih,” ujar salah satu Tokoh Adat, Ber Lesnussa.
Tak hanya itu, para tokoh adat dari Kecamatan Leksula dan Kepala Madan pun berharap para wakil rakyat dapat menyuarakan aspirasi mereka terkait jalan lintas Namrole - Leksula, Leksula - Kepala Madan, sebab kata mereka, Kabupaten Buru lebih maju dan akses jalan untuk menghubungkan kecamatan-kecamatan yang ada di kabupaten tersebut sudah terhubung.
Tetapi berbeda dengan Bursel, jika warga Leksula atau Kepala Madan ingin ke Kota Namrole mau tidak mau harus melewati lautan.
Selain itu, Tokoh Adat dari Marga Mual berkeinginan agar pemerintah dapat membangun rumah adat di Kabupaten Bursel baik dari tingkat desa sampai Kabupaten, karena menurutnya, tiga tungkuh untuk membangun daerah adalah Pemerintah, Agama dan Adat.
“Dalam himpunan orang basudara di Bumi Kai Wait, itu berarti kita punya rumah. Pemerintah, Mesjid-Gereja dan rumah adat, ini tiga tungkuh harus ada sehingga pemerintahan bisa jalan maksimal. Ini soal identitas, jadi kami minta kebijakan pemerintah daerah bersama DPRD. Rumah adat kalau menurut undang-undang itu rumah adat ada di tingkat Desa, tingkat kecamatan, dan tingkat kabupaten ini harus ada perwakilan,” ucap salah satu Tokoh Adat Ronal Solissa.
Menanggapi keluhan para tokoh adat ini, Wakil Ketua I DPRD Jamatia Booy mengatakan apa yang disampaikan oleh para tokoh adat telah ditampung dan dalam waktu dekat DPRD akan bertemu dengan Pemda untuk membicarakan ha-hal yang disampaikan tersebut.
“Pada prinsipnya kami DPRD menampung semua aspirasi ini dan kami bijaki, kami tindaklanjuti bersama Pemda. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kami akan undang Pemda untuk membahas apa yang disampaikan di saat ini,” ujar Booy.
Sementara anggota DPRD dari Partai Perindo, Bernadus Waemese menjelaskan bahwa untuk perubahan Nama Kecamatan Fena Fafan, tidak bisa langsung di ganti sesuka hati saja, namun itu semua harus melalui kajian akademis yang panjang dimana semua itu ada tahapannya.
“Harus ada kajian akademisnya, kajian filosofisnya yaitu nilai-nilai budaya masyarakat setempat harus dipelihara, kedua yuridisnya yaitu Perda yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya, ketiga sosialisasinya yaitu apa yang sudah ada di tempat itu tidak boleh dirubah lagi. Untuk Danau Rana kita sepakat untuk menolak dan harus dibuatkan pernyataan dalam bentuk Proposal agar DPRD saat bertemu dengan Pemda Buru ada landasan hukumnya,” ucap Waemese.
Terkait insetif, Waemese menyampaikan bahwa dana yang tersedia bagi 120 orang (60 Tokoh adat dan 60 Tokoh Agama) itu ada Rp.2,6 Milyar dan dana tersebut akan dirasionalisasikan.
Sementara keluhan lainnya akan ditindaklanjuti dan akan dibahas bersama Pemda Bursel untuk mendapatkan kesepakatan demi kesejahteraan masyarakat Bursel. (SBS/02)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!