PPK Bendungan Waeapo, Jack Terhupuring |
Desah desus
permasalahan pembangunan di Bendungan Waeapo semakin hari sulit saja. Sebab,
permasalahan yang terjadi di pembangunan bendungan dengan anggaran trilyunan
rupiah itu semakin gelap dan semakin tertutup.
Baik itu
permasalahan soal lahan, sampai pada pembayaran uang upacara adat yang diduga mulai
mengarah ke kasus korupsi, belum juga mendapatkan titik terang.
PPK Bendungan Waeapo
Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku, Jack Tehupuring kepada wartawan di Ambon,
Kamis (06/02/2020) enggan membeberkan siapa yang menginisiatif maupun siapa
penerima dana sebesar Rp. 200 juta yang tiba-tiba dimunculkan menjadi Rp. 900
juta dari sebelumnya hanya Rp. 700 juta untuk prosesi adat.
"Benar waktu kita
bicara pertama di pertemuan itu tujuh tapi waktu upacara adat ada yang bilang,
bahwa mereka lupa dua saudaranya (dua soa). Dua soa itu fokus di air moyang.
Kalau bicara air moyang tidak bisa bilang tujuh, tapi sembilan," ujar
Tuhupuring.
Dirinya berdali bahwa
data berupa nama-nama penerima dana yang diperolehnya itu berasal dari petugas
lapangan berdasarkan data dari kepala-kepala soa di dataran Waeapo.
"Semua itu terima,
saat upacara adat itu yang berdiri dan berteriak itu sembilan dan saya sebagai
anak adat tidak bisa lari dari itu. Kalau dua lecet saya punya anak-anak bisa
kenapa-kenapa di lapangan, siapa yang mau tanggung jawab. Saya takut setengah
mati. Ia upacara adatnya sembilan,” ujarnya.
Kendati telah mengkalim
diri sebagai PPK fisik dan bukan PPK lahan, namun entah ada kepentingan apa
sehingga dirinya pun turut dan ikut terlibat dalam pengurusan lahan yang
sebenarnya bukan tupoksi dari dirinya.
Bahkan, Ia juga tak membantah
bahwa dirinya juga turut mengurus dan membantu untuk mencairkan anggaran Rp.900
juta tersebut.
“Batul yang berdomisili
disitu tujuh, tapi yang berdomisili di air moyang itu sembilan. Karena yang
saya pakai ini air. Untuk lahan itu saya hanya bantu fasilitasi untuk
diusahakan bulan ini terselesaikan. Jadi permasalahan pemalangan ini hanya dua,
tim terpadu dan lahan. Dan saya ini fisik, dan sebenarnya saya tidak ada
disitu. Cuma karena dia anak Ambon, saya anak Ambon, makanya mari katong baku
bantu. Kebetulan saya ada disana, makanya kami baku bantu,” ujarnya.
“Kerja ini saya
sebenarnya bukan pada porsi di bidang itu, sebab saya PPKnya kontruksi dan saya
bukan PPK lahan, sehingga saya hanya membantu, tetapi semua arah panah lari ke
saya, itu berarti saya yang duduk salah tupoksi, salah tugas. Saya ini membantu
sehingga yang lebih rincih itu PPK tanahnya pak Edwin. Tapi saya sifatnya
membantu,” ujarnya lagi.
Ditanya terkait proses
pencairan itu apakah dicair seluruhnya Rp. 900 juta sekaligus atau Rp. 700 juta
lebih dulu baru dicairkan lagi Rp. 200 juta setelah ada komunikasi-komunikasi
lain, dirinya terus menepis bahwa harus dikumpulkan semua tokoh adat untuk
mengetahui siapa-siapa saja yang menerima uang tersebut.
Bahkan, ia menganjurkan
untuk mendapatkan data lebih valid, maka harus dikumpulkan semua soa agar dapat
dibicarakan secara bersama, dan jangan hanya mendengar dari satu soa saja.
"Semua cair
bersamaan. Ia setelah upacara adat, tapi waktu katong kumpul-kumpul itu
berteriaknya benar tujuh, setelah upacara adat itu berteriaknya sembilan. Kalau
upacara adat saya takut. Untuk dapatkan info valid itu harus kumpul semua soa,
bukan suara satu soa, tapi suara sembilan,” pungkasnya.
Bahkan, ia membeberkan,
untuk dana tersebut, yang pertama menerima adalah Pimpinan tertinggi marga
Latbual (Matlea Latbual) Aris Latbual.
“Bapak Aris itu yang
terima pertama. Betul waktu mereka bicara pertama di pertemuan itu tujuh, tapi
waktu upacara adat itu mereka bilang, mereka lupa mereka punya saudara dua,”
terangnya.
“Semua itu, saya bilang
ada dua saudara yang fokus di air moyang. Itu juga menurut yang saya dengar
dari mereka bukan saya. Dan pada saat terima itu semua-semuanya ada untuk
sembilan soa. Itu menurut saya dengar dari anak-anak saya. Saya hanya terima
laporan soalnya saya di Ambon bahas kontruksi setelah itu saya ke Semarang.
Jadi saat itu saya tidak ada di lapangan karena saya punya tugas atasi yang
lain,” tambahnya.
Ditanya kembali untuk dua
marga yang baru ditambahkan, ia hanya menyebutkan bahwa semua kepala-kepala soa
itu yang terima.
"Untuk dua soa ini
harus kumpul semua soa karena saya tidak bisa jelaskan. Saya takut saya
jelaskan salah marga lalu mereka marah saya. Semua terima. Jadi anak-anak yang
sampaikan bahwa mereka itu yang terima, menurut saya dengar dari anak-anak saya
di lapangan semua kepala-kepala itu yang terima. Hanya pesan saya uang itu
harus sampai di tangan yang benar dan tidak boleh ada yang keluar,” ucapnya.
Ia menegaskan untuk dana
Rp. 200 juta itu diterima oleh dua soa yang baru disebutkan saat upacara adat.
“Dua itu terima langsung,
ada tanda terima. Itu ketuanya yang ambil. Makanya yang paling valid kumpul
semua tokoh adat jangan dengar dari satu, supaya semua berbicara,” tandasnya.
Namun, informasi valid
yang diterima media ini dari sumber terpercaya, menyebutkan bahwa sesuai
catatan resmi di kepala BWS sesuai permintaan itu Rp.700 juta dan bukan Rp.900
juta,.
Diberitakan sebelumnya,
masalah yang terjadi pada pembangunan bendungan Waeapo, Kabupaten Buru,
Provinsi Maluku dengan aggaran trilyunan itu kini terancam gagal dibangun.
Hal ini dikarenakan,
terjadi sejumlah masalah baik itu untuk pembayaran lahan adat,
kewajiban-kewajiban Balai Wilayah Sungai (BWS) yang belum direalisasikan sesuai
kesepakatan awal, dan ketidak profesionalisnya Jack T sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) yang tidak menghargai tokoh-tokoh adat dalam membangun
komunikasi, hingga munculnya dugaan Korupsi berjamaah dengan nilai ratusan juta
rupiah.
Salah satu anak adat
Pulau Buru, Dominggus kepada media ini , Selasa (4/2/2020) menegaskan, jika BWS
tidak bisa menindaklanjuti apa yang menjadi tuntutan tokoh-tokoh adat sesuai
kesepakatan awal dan permintaan masyarakat adat khususnya untuk mengevaluasi
PPK Bendungan Waepo (Jack T), maka apa yang telah di tegaskan oleh pimpinan
tertinggi Marga Latbual (Matlea Latbual) akan terus dikawal dan hal itu tidak
bisa diganggu gugat oleh siapapun.
“Kami marga Latbual
sangat tunduk dengan apa yang telah ditegaskan oleh pimpinan kami (Matlea
Latbual), dan jika Pihak BWS masih saja mempertahankan Jack T sebagai PPK, maka
sudah pasti pembangunan bendungan tidak bisa berjalan karena lahan akan tetap
kami palang,” ucap Dominggus dengan nada tegas.
Baca juga :
Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ratusan Juta di Bendungan Waeapo
Pimpinan Tertinggi Marga Latbual Minta PPK Bendungan Waeapo Diganti
Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ratusan Juta di Bendungan Waeapo
Pimpinan Tertinggi Marga Latbual Minta PPK Bendungan Waeapo Diganti
Kata Pria yang akrab
dipanggil Minggus ini, apa yang telah diperintahkan dan ditegaskan oleh Aris
Latbual sebagai pimpinan tertinggi marga, maka secara otomatis perintah itu
akan turun lurus dan dipegang teguh oleh seluruh anak cucu marga Latbual tanpa
ada alasan dalam bentuk apapun.
“Apa yang disampikan oleh
pimpinan kami adalah kehormatan yang harus kami jaga, kami pegang dan kami
simpan sebagai sebuah perintah yang dititipkan dari pimpinan kepada kami. Dan
perintah ini akan diamankan oleh seluruh anak cucu marga Latbual dimana saja
dia berada,” paparnya.
Disamping itu, ia juga
menyampaikan, jika ketegasan pimpinan marga Latbual tidak diindakan, ditambah
pihak BWS yang mulai melenceng dari kesepakatan-kesepatan awal dengan
masyarakat adat sebagai pemilik lahan, maka semakin lengkaplah dugaan kami
sebagai masyarakat adat tentang ada apa dengan BWS sehingga masih saja
mempertahankan Jack T sebagai PPK pembangunan Bendungan Waeapo.
Apalagi, lajutnya, saat
ini sudah mulai tercium aroma-aroma tidak sedap terkait pembayaran uang untuk
upacara adat yang patut diduga sudah mulai mengarah ke kasus korupsi.
“Kami tidak akan mundur
sejingkalpun dari apa yang telah pimpinan kami tegaskan. Jangan lupa saat ini
sudah mulai tercium orama-orama yang tidak sedap, dimana kesepakatan awal
pembayaran Rp.700 juta namun direalisasikan menajdi Rp.900 juta. Ini
berbahaya,” tandasnya.
Ia menegaskan, semua
keluhan dari tokoh-tokoh adat akan tetap ditindaklanjuti oleh anak-anak adat
yang berada di Kabupaten Buru, Kabupaten Bursel maupun di kota Ambon.
“Kami sudah bangun
komunikasi dengan adik-adik kami yang saat ini sementara menempuh pendidikan di
kota Namlea maupun kota Ambon, dan dalam waktu dekat mereka akan melakukan aksi
utuk mengawal proses pembangunan Bendungan Waeapo. Tuntutan kami adalah
evaluasi PPK, BWS harus merealisasikan Kewajibannya kepada masyarakat adat
sesuai kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun secara bersama, dan meminta
Aparat Penegak Hukum untuk mengusut tuntas dugaan korupsi berkelompok dengan
nilai ratusan juta,” pungkasnya. (SBS/02)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!