"Kerugian keuangan negara ini dari pembayaran terhadap perusahan yang dipakai oleh para tersangka. CV SB sebesar Rp.184 juta dan CV N sebesar Rp.175 juta. Kemudian ada biaya konsultan, sehingga seluruhnya Rp.329 juta lebih," ungkap Kepala Kejaksaan Negeri Buru, Muhtadi saat jumpa pers dengan para wartawan di kantor kejaksaan Senin siang (13/09/2021).
Dijelaskan, kalau pada hari Senin ini tim penyidik telah melaksanakan ekspose pemaparan perkembangan penyidikan. Berdasarkan hasil ekspose tersebut, tim sepakat untuk menetapkan tiga orang sebagai tersangka timbunan fiktif di RSUD Namrole Tahun 2020 lalu.
"Tiga tersangka tersebut, yakni inisial LA, PPK pada RSUD Namrole tahun 2020. Kemudian yang kedua berinisial RK, seorang swasta. Yang ketiga berinisial MAB alias HT juga seorang swasta. Jadi dua orang swasta dan satu PPK," lanjut Muhtadi.
Muhtadi menerangkan, kalau Rahman Karate, Haris Tomia dan La Aca Buton disangkakan melanggar pasal 2, pasal 3 UU Tipikor. Ancaman hukuman maksimum 20 tahun penjara.
Penetapan tersangka setelah tim kejaksaan melakukan pemeriksaan terhadap 17 orang saksi, yang dilanjutkan dengan ekspose perkara Senin tadi dari Pukul 09.00 WIT hingga pukul 12.00 siang.
Dalam ekspose tersebut, tim sepakat menetapkan tiga nama di atas sebagai tersangka. Selama proses pemeriksaan, kejaksaan telah berhasil menyita uang sebesar Rp.130.075.000 dari tangan sembilan saksi, termasuk pula para tersangka.
Salah satu saksi yang mengembalikan uang karena ikut menikmati hasil korupsi proyek fiktif, yakni Direktur CV Sinar Bupolo, Jefry Hukunala sebesar Rp.3 juta.
CV Sinar Bupolo milik oknum DPRD Buru, Roby Nurlatu ini bersama CV Naila milik Alkatiri, telah pakai untuk mencairkan dana proyek fiktif tersebut.
Sedangkan dari tiga oknum tersangka, La Aca Buton baru kembalikan Rp.3,5 juta, lalu Rahman Karate Rp.35 juta dan Haris Tomia Rp.20 juta.
Muhtadi dan tim kejaksaan masih terus mengupayakan agar sisa kerugian negara sebesar Rp.199 juta lebih dapat disita lagi dari ketiga tersangka.
"Masih ada yang belum berhasil kami selamatkan sejumlah Rp.199 juta lebih. Ini nanti kita upayakan pengembalian sisa kerugian negara sebelum penuntutan," terangkan Muhtadi.
Muhtadi optimis kalau kasus ini akan rampung dan sampai penuntutan pada tahun ini, sehingga tidak lagi ada tunggakan di tahun depan.
Untuk itu, setelah pengumuman penetapan tersangka ini, para saksi akan kembali dimintai keterangan ulang untuk tersangka Rahman Karate, tersangka Haris Tomia dan tersangka La Aca Buton.
Muhtadi lebih jauh memaparkan, modus dari korupsi ini berawal dari Rahman Karate dan Haris Tomia mengajukan pembayaran terkait dengan timbunan di RSUD Namrole yang menurut mereka telah dikerjakan pada tahun 2017 lalu.
Setelah melalui lobi-lobi, akhirnya PPK LA Aca dengan Rahman dan Haris kedua menandatangani kontrak yang melibatkan CV Sinar Bupolo dan CV Naila seolah-olah telah terjadi pekerjaan timbunan di RSUD pada tahun 2017 lalu.
"Seolah-olah pemerintah daerah memiliki hutang kepada mereka yang harus dibayarkan," papar Muhtadi.
Muhtadi menegaskan pula, bahwa pada tahun 2017 lalu ada terjadi penimbunan di halaman RSUD Namrole. Tapi penimbunan itu merupakan sumbangan dari para kontraktor karena ada kegiatan MTQ Propinsi Maluku di kota Namrole.Kenapa ada timbunan?, kata Muhtadi, karena saat itu di RSUD Namrole dijadikan tempat menginap para kafilah, sedangkan lahan pekarangan RSUD mengalami kebanjiran.
Sehingga Dinas PU berinisiatif meminta bantuan kepada kontraktor yang saat itu sedang melakukan penggalian di pinggir ruas jalan untuk membuang tanah galian ke RSUD.
"Namun kedua tersangka memanfaatkan itu seolah-olah pemerintah daerah memiliki hutang. Lalu mereka menggunakan CV SB dan CV N untuk mengajukan pembayaran dan kemudian dibuat kontrak dengan PPK LA seolah-olah ada pekerjaan yang diperintahkan oleh RSUD Namrole, sehingga RSUD pada bulan Februari tahun 2020 lalu menerbitkan surat perintah melakukan pembayaran," ungkap Muhtadi.
Padahal saat itu di RSUD Namrole belum ada anggaran dan baru dianggarkan di Anggaran Perubahan Tahun 2020 sekitar bulan Desember tahun 2020.
Muhtadi menambahkan, kalau Tim penyidik sudah berkoordinasi dengan auditor BPKP. Kejaksaan telah minta bantuan BPK untuk menghitung kerugian negara.
Dari hasil koordinasi dan ekspose dengan BPKP yang dilaksanakan pada bulan lalu, pihak BPKP menyampaikan pendapat perkara ini bisa dilakukan perhitungan sendiri oleh penyidik karena tidak terlalu rumit.
Dengan jumpa pers kali ini, Muhtadi berharap bukan saja agar masyarakat mengetahuinya.Tapi juga warning bagi pelaku-pelaku lainnya supaya tidak melakukan kejahatan yang sama.
Ia berharap nanti akan ada perbaikan sistem, sehingga tidak ada lagi kegiatan korupsi pencurian keuangan negara dengan modus antara lain seperti di atas.
Sebagaimana pernah diberitakan, proyek timbunan fiktif di tahun 2020 itu terbongkar setelah ada kontrak yang dibuat menggunakan tanggal dan tahun mundur seakan-akan ada Surat Perintah Kerja (SPK) di tanggal 14 April 2017.
La Aca Buton, bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kontrak dengan CV Sinar Bupolo, pada isi kontrak disebutkan ada pekerjaan penimbunan di areal laboratorium kebidanan dan sekitarnya.
Namun aroma busuk ini terbongkar berawal dari kontrak mundur yang teken PPK bukan dilakukan oleh Roby Nurlatu yang di tahun 2017 lalu masih menjadi Dirut CV Sinar Bupolo melainkan dengan Jefri Hukunala yang baru menjadi Direktur CV Sinar Bupolo terhitung 7 Agustus 2019. (SBS10)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!