Namrole, SBS
Sengketa tapal
batas antara Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan masih terus diperjuangakan
oleh masing-masing Pemkab, namun sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat, maka Desa Batu Karang, Kecamatan Fena Fafan
dan Desa Waehotong, Kecamatan Kepala Madan telah diakui sebagai bagian dari
daerah otonom Kabupaten Buru Selatan (Bursel) dan bukan lagi merupakan wilayah
dari Kabupaten Buru.
Tetapi, hingga
saat ini, Pemerintah Kabupaten Buru masih berasumsi dan menganggab bahwa
perjanjian yang dilakukan dalam proses pemekaran Kabupaten Bursel kurang lebih
delapan tahun lalu sebagai perjanjian adat dan bukan perjanjian administrasi
pemerintahan.
''Padahal yang
kita lakukan adalah proses perjanjian administrasi pemerintahan,'' kata Tagop
kepada wartawan ketika meninjau pembangunan berbagasi infrastruktur MTQ yang
terletak di Kilo Meter II, Desa Kamlanglale, Kecamatan Namrole, Sabtu (01/04).
Dijelaskan, bila
berbicara mengenai pemerintahan, maka secara de jure dan de facto, wilayah Desa
Batu Karang adalah Dusun dari Desa Mngeswaen dan Desa Waihotong itu adalah
Dusun dari Desa Balpetu.
''Keduanya
adalah dusun yang menjadi wilayah Kabupaten Bursel dan secara de jure diakui di
dalam Undang-Undang 32 tentang Pembentukan
Otonom Baru,” tegas Tagop.
Lanjut Tagop,
hal itu sebenarnya telah jelas, dimana saat dimekarkan sebagai daerah otonom
baru, Kabupaten Bursel yang dipimpinnya terdiri dari lima kecamatan, yang
didalamnya juga mengakomodir kedua Desa tersebut yang saat pemekaran masih
berstatus Dusun.
''Karena di
dalam Undang-Undang 32, batas wilayah Kabupaten Bursel adalah lima kecamatan
yaitu, Kecamatan Kapala Madan, Kecamatan Leksula, Kecamatan Waesama, Kecamatan
Namrole dan Kecamatan Ambalau,'' rincinya.
Semua wilayah itu,
jelasnya lanjut, menjadi wilayah yang diakui secara nasional dan bukan diakui
secara adat.
''Kalau bisa
secara adat, kita bisa saling mengklaim dan itu tidak akan bisa selesai,'' ujar
Tagop.
Lanjut Tagop
bahwa tujuan dari sebuah pemekaran adalah untuk mempercepat proses peningkatan
pembangunan dan kesejahtraan masyarakat serta memperpendek rentang kendali,
baik rentang kendali sosial masyarakat dan pemerintah maupun pembangunan.
Olehnya itu,
katanya lagi, harus bisa dipahami oleh semua pihak bahwa tujuan dari proses
pemekaran adalah seperti itu dan bukan untuk saling gontok-gontokan untuk
mendapat kekuasaan wilayah.
''Ini bukan
wilayah kerajaan, ini wilayah administrasi pemerintah negara Republik
Indonesia. Siapapun menjadi bupati tujuannya mensejahtrakan masyarakat,''
jelasnya lagi.
Kata Tagop bahwa
yang dipermasalahkan oleh pemerintah Kabupaten Buru adalah permasalahan adat,
wilayah adat itu tidak masuk. Jelasnya lanjut, adat tidak bisa memberi
intervensi di dalam pembangunan.
''Tetapi di
dalam tataran sosial kemasyarakatan kita mengakui adanya adat, itu saja,''
sebut Tagop.
Ditegaskannya
bahwa sebagai anak negeri dan anak adat dirinya memahami tentang adat. Tetapi
bukan menjadikan adat sebagai landasan pemerintahan yang moderen.
''Secara de
facto dan de jure wilayah itu masuk di kita di Bursel, undang-undang jelas,
kita pakai undang-undang bukan keputusan adat,'' jelas Tagop.
Kenapa sampai
polemik ini terjadi, lanjut Tagop menjelaskan, bahwa hal ini disebabkan dari
sebuah keptusan Pemerintah Provinsi Maluku yang tidak konsisten.
Lanjutnya, staf
ahli yang pada saat itu benar-benar memberikan sebuah rekomendasi kepada
Gubernur sebelum mempelajari administrasi pemerintahan yang ada.
''Dia baru tidur
dia liat itu dia langsung membuat keputusan itu, ini sebuah yang sangat naif
sekali kan,'' sesali Tagop.
Ditandaskannya
bahwa, siapapun yang melihat kondisi wilayah Bursel pasti paham dari aspek
hukum dan sosial kemasyarakatan karena semua menginginkan masuk ke wilayah
Bursel.
''Orang-orang
yang ingin bergabung ke wilayah kabupaten buru itu adalah orang-orang yang
mengkaitkan pemerintahan masuk ke kondisi politik, itu menurut saya tidak
boleh,'' pungkasnya. (SBS-02)
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan attitude yang baik...
Dilarang menggunakan Anonymous !!!